Sabtu, 24 Mei 2008

Topik Terkini " Kebangkitan Nasional"


Memaknai dan memberi makna kebangkitan nasional


"PNS buk!"
Itukah jawaban seseorang pertanda orang tersebut telah mengabdi kepada negara?! Saya yang menulis ini, anda sebagai pembaca tahu akan butuh pembahasan yang cukup panjang bahkan akan pelik jika dihubungkan dengan 100 tahun Kebangkitan nasional.
Jika orang mau memaknai kebangkitan nasional, mungkin dia harus bekerja keras (sektor swasta nich…), agar dia bisa mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya, dan agar dia bisa membayar Pajak Penghasilan sebesar-besarnya. Dalam kaitan ini dia akan berkontribusi besar dalam menunjang APBN. Inilah agaknya tindakan yang paling real jika ingin menunjukkan semangat kebangsaan dalam memaknai kebangkitan nasional. Khan, membayar pajak juga merupakan bukti peduli kepada sesama…?!
Selain itu, barang dan jasa yang dihasilkan mesti memberikan kegunaan kepada masyarakat luas. Pastinya seperti itu. Ini adalah pengamalan Pancasila sila yang kedua yaitu “ Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dan juga mendukung perwujudan sila “Persatuan Indonesia”. Membayar pajak juga adalah penonjolan sisi kemanusiaan rakyat Indonesia yang baik.
Pegawai Negeri Sipil, BUMN, swasta, wiraswasta atau apapun itu namanya kesemuanya adalah warga negara. Itu lah yang kutahu tentang siapa isi bangsa dan negara dan siapa yang harus mempertahankan serta membangunnya.
Iwan Fals, wujud sumbangsih sebagai warga negara menyumbang pemikiran bagi bangsanya dengan pernah berkata dalam lagunya ; Manusia Setengah Dewa, “Urus saja moralmu…bla..bla…bla.. . “ Dan esensi dari lagu tersebut hanya pada hal bahwa Indonesia mengalami masalah ekonomi. “Turunkan harga..serendah-rendahnya….”, demikian dia menambahkan.
Kebangkitan nasional, kendati dalam sejarah disebutkan bahwa bersamaan dengan berdirinya Budi Utomo, masyarakat dibawa ke dalam issue bahwa mereka mesti mengembangkan “Budi Ingkang Utomo” (perilaku yang utama/ yang baik) yang dalam hal ini tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Saya secara pribadi melihat ini dengan senyum skeptis jika dalam seabad ini, “yang ini” mau dibangkitkan. Membangkitkan “Budi Ingkang Utomo”..?! Bisa apa…?!
Lihat saja dalam 3 dekade ini, sejak tahun 70-an hingga 90-an. Issue-issue yang beredar malah membuat saya berimajinasi yang “tidak-tidak” dan “iya-iya”. Di era Orde Baru ada issue pejabat memiliki wanita-wanita simpanan, bahkan ada yang katanya disediakan oleh istri-istri mereka sendiri. Selama dekade-dekade itu Jogjakarta yang identik dengan budaya halus dan luhur ala keraton diserang dengan banyak tuduhan mulai dari yang ringan-ringan hingga yang besar dan intinya adalah seks bebas ada di Jogja. Yang terakhir, di Jogja ada blue warnet. Warnet yang “di situnya” bisa “begini dan begitu”. Lalu terciptalah “beberapa” rekaman syur amatir produksi dalam negeri.
Pemerintah mungkin terlalu sibuk dengan (bidang) ekonomi. Hingga (entah) tidak menyadari “nona2 Geisha” yang dari Jepang, rombongan Viagra, karet lateks (kondom) dari USA, dll, telah datang ke Indonesia entah melalui Bandara Soekarno Hatta, atau mungkin film, animasi berpindah tempat lewat satelit di atas sana.
“Budi Luhur” versus “keinginan-keinginan daging” yang didukung invasi luar negeri sekaliber Playboy dan FHM magazine pastinya akan dimenangkan oleh pribadi-pribadi yang linuwih, yang telah memilih agama dan watak luhur sebagai jalan hidupnya. Tentu tidak termasuk teman saya yang “rajin beribadah”, tapi telah tergoda untuk melirik gambar-gambar syur lewat internet, mulai dari yang ringan-ringan hinga yang berat-berat.
Bagaimana dengan “internet goes to school”, yang mengkampanyekan bahwa dengan internet kita “bisa tahu”. Bisa tahu apa….ya ??!! Jika mungkin, pemerintah harus bisa menjamin bahwa “blue sites” tidak dapat diakses oleh orang-orang di negeri ini. Tidak perlu ada klasifikasi juga tidak apa-apa. Paling-paling yang tidak terima juga eksekutif-eksekutif muda dan beberapa mahasiswa yang telah terbiasa dengan hal itu. Emang kementrian Komunikasi dan Informasi bisa…?!
Nah, kalo berani ya pemerintah tegas saja, bahwa Indonesia tidak perlu majalah Plaboy dan FHM, atau dan lain-lainnya.
Kalo perlu, aktifis-aktifis FFI itu diculik saja karena telah “akan melawan” Lembaga Sensor Film. LSF itu baik dalam kacamata saya sebagai orang yang pernah belajar PPKn.
Intinya, jika daging babi itu haram dan begitu menggoda jika berseliweran di dekat komunitas. Apakah tidak sebaiknya daging babi itu dicegah peredarannya ?! (sekarang pun demikian to..?!) Sama halnya dengan hal-hal di atas. Masalahnya, ada pilihan untuk soal daging ; ada daging kambing dan sapi yang tentu saja lebih enak. Tapi untuk “hal-hal semacam itu tadi” bagaimana ?!
Ah cukuplah, …..
Kajian “budi ingkang luhur” pada tulisan ini memang hanya berkutat pada masalah seks semata. Karena di samping ini adalah sangat “menyerang” budi ingkang luhur tadi, ini adalah masalah klasik yang sampai puluhan tahun ke depan akan tetap up to date untuk diperbincangkan, dan..di samping itu saya suka dengan pokok bahasan ini.
………………………………………………………………………………………………..
Terjadilah pada suatu waktu, seorang jawa bertanya pada mbakyunya, “Lha..kalo mbakyu di madu… ?! Bagaimana …?!” Sang mbakyu Cuma tersenyum dengan berkata, “Lha kalo ‘setorannya’ lancar…ya biarlah…” (setoran = jatah uang belanja sebagai kewajiban suami)
Lain cerita tapi senada, ada seorang bercerita tentang suami seorang wanita yang bekerja sebagai pelaut. Dia bercerita, “Si XX ini jadi pelaut sudah 2 (dua) tahun tidak pulang… . He..he…, suami macam apa itu ?! (maksudnya : apa itu bisa dianggap sebagai orang hidup sebagai suami istri). Melanjutkan dia bilang, “Halahh….laki-laki…jauh tempatnya…(kalo) butuh perempuan, paling-paling juga cari pelacur…”.
……………………………………………………………………………………………….
Ini adalah pernyataan putus asa. Dan saya tahu betul, orang hanya berusaha berpikir logis di masa seperti sekarang ini. Dan memang benar, sang pelaut itu memang rajin mengirim uang kepada istrinya.
Maka, cukuplah saya tutup tulisan ini dengan mengatakan biarlah eksekutif-eksektif muda/ tua, pribadi-pribadi swasta, masyarakat luas itu tidak “berbudi ingkang luhur”-dalam kaitannya dengan tulisan di atas-, juga tidak apa-apa. Yang penting adalah mereka harus rajin dan membayar pajak sebesar-besarnya, untuk kebaikan bangsa Indonesia, karena apa?! Mengacu, Roosevalt "Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakan lah apa yang kamu bisa perbuat untuk negara", maka saya diakhir tulisan ini hanya bisa menyinggung tentang membayar pajak sebagai indikasi warga negara yang baik. Mengapa demikian, yang bisa kulakukan untuk NKRI ini sementara ini hanya dengan membayar pajak.
jadi hemat saya sebagai penulisk alau g bisa membuka lapangan pekerjaan buat masyarakat, tidak bisa membuka mata telinga teman/ saudara dengan getok tular ilmu manfaat, ya mungkin cukuplah bagi anda hanya dengan mambayar pajak. minimal ada yang anda lakukan buat negeri tercinta ini. Ini bukan negeri Bung Tomo, tapi Bung Tomo memeberikan negeri ini kepada kita.
Meskipun pada hakekatnya “keinginan-keinginan” daging, duniawi, materi, kebendaan semacam itu berimplikasi pada satu dan laen hal, perlu dibahas pada lain tulisan, yang pasti tandai kedua tanganmu dengan keringat untuk kepentingan negeri.

Selamat mendengar orang-orang meneriakkan “seabad Kebangkitan Nasional”. Semoga Tuhan YME senantiasa memberiKEN segala kebaikan yang dibutuhKEN oleh bangsa dan negara kita.


471 5
Bengkulu, 21 Mei 2008.











Powered By Blogger

Mengenai Saya

Foto saya
bengkulu, Indonesia, Indonesia
Assalamu'alaikum to all sebelum dari semuanya...tak kenal maka tak sayang. perkenalkan saya punya nick "471 5". apa arti sebuah nama,mawar dengan nama apapun tetap wangi ( shakespiere).