Selasa, 29 April 2008

Kisah sepotong keju


Belajar ikhlas sesi 1

Kisah sepotong keju

Dalam suatu obrolan seorang teman berpesan ”dijaga gizinya, jangan lupa minum susu, eh seafood tuh banyak kandungan kalsium. Ati-ati lho sodaraku bla bla bla” kelanjutan cerita adalah kisah-kisah perempuan yang bermasalah dengan tulang setelah hamil dan punya anak. ya aku tau. aku sudah membaca tentang hal itu. masukan yang bagus dan akan kutingkatkan asupan kalsiumku.
Alhamdulillah ada uang. Segera ku menuju salah satu pusat perbelanjaan dan membeli sepotong keju. seumur hidup ini keju chedar pertama yang kubeli sendiri. bukan berarti sebelumnya aku belum pernah mencoba keju lho...
Beberapa hari kunikmati sepotong kejuku. tiap kali setelah makan kulihat sisa batangannya. Alhamdulillah ini cukup untuk beberapa minggu.
Tapi situasi berubah. ada penghuni baru di rumah. aku memang tidak tinggal di rumah sendiri. orang jawa bilang ”nunut”. ”nunut” tidur ”nunut” makan. Penghuni baru hobi masak dan membuat makanan untuk pemilik rumah dengan kejuku. Ya Allah Gusti... ikhlas harus senantiasa diusahakan. tapi itu kejuku. kalau keju itu habis aku belum tentu bisa membelinya lagi. Ya Allah Gusti... sekarang keju itu tinggal separo sebentar lagi akan habis karena ada hidangan lagi hari ini.
Mereka adalah orang-orang baik, mau menerimaku di rumahnya. Aku berpikir telah menjadi orang jahat karena sepotong keju. Selama ini aku juga boleh memakan apa saja di rumah ini. Tapi aku masih belum bisa menerima.
Hatiku semakin tersayat saat terjadi obrolan ”wah jajannya enak, besok bikin lagi ya mbak! kita masih punya keju kan?” seorang menjawab ”iya kita masih punya banyak”. Keju yang banyak itu punyaku. ah...

Pernah merasa seperti kisah tadi? sebagai renungan bagi kita semua, seberapa sering kita menghitung-hitung amal kita? menimbang setiap pengorbanan yang kita lakukan untuk orang lain? atau juga seberapa kuat kita berbuat baik tanpa membicarakannya?
Semoga bermanfaat.



Senin, 07 April 2008

Pentingnya/ kah?! Kesetaraan Gender (bagian 2)

Sebaliknya pihak penentang adanya perjuangan kelas gender ini biasanya dari kalangan religius. Menurut mereka gender itu perbedaan yang harus diakui dan dihormati. Persamaan gender menyebutkan bahwa laki–laki dan perempuan memang diciptakan dalam keadaan yang berbeda dalam tujuan sama. Bagaimana penulis bisa mengatakan hal ini? Silahkan anda rubah penggalan kalimat “keadaan yang berbeda” pada kalimat tersebut di atas dengan kalimat penafsiran anda sendiri tentang apa yang dimaksud perbedaan antara perempuan dan laki-laki Mari kita sama-sama berpikir tentang hal ini.

Langkah kedua mengganti frase “dalam tujuan sama” dengan kata ibadah, menurut penulis semua orang sepakat tentunya kecuali orang yang mengingkari hal tersebut. Merunut langkah-langkah tadi maka kalimat tersebut di atas berubah menjadi “Persamaan gender di sini menyebutkan bahwa laki –laki dan perempuan memang diciptakan dalam keadaan fisik, sifat emosional, jiwa, naluri yang berbeda dengan tujuan sama untuk bersama menjalankan perintah Tuhan yang menciptakan-Nya”. Tentu saja kalimat tersebut berdasarkan rangkaian kata dari penulis, anda boleh berpikir berbeda.

Kalangan agamis menyatakan perempuan dan laki-laki secara fitrah berbeda dan sama-sama mempunyai kedudukan yang mulia tidak ada yang lebih rendah (atau lebih tinggi). Dengan aturan dari Tuhan-Nya, laki-laki perempuan dimuliakan akan fitrahnya, inilah kata mereka yang mau menganut agamanya.

Kalangan anti kesetaraan gender tidak hanya berasal dari golongan agamis saja. Penulis menilai sosial adat juga secara langsung atau tidak langsung termasuk pihak kontra dalam isu kesetaraan gender ini. Menurut Qasim Amien (feminis Arab) masalah perempuan akibat dari konstruksi sosial (social construct) yang sering menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Bagaimana sebuah budaya hasil karya cipta karsa secara turun menurun terus meligitimasi anggapan-anggapan perempuan ada di bawah kendali laki-laki.

Sebagai salah satu contohnya, lihat pada kereto boso (seperti anonim dalam bahasa jawa, untuk kata “wanita” diartikan wani ditata (wani : berani; ditata : ditata, diatur, bahasa jawa). Atau dengan kata lain, wanita itu makmum dan laki-laki selalu masbuk. (Ini sedikit alasan mengapa penulis tidak mau menggunakan kata “wanita”, dalam tulisan ini. Penulis lebih suka memakai kata “perempuan”). Perempuan terdiri dari kata “empu” (empu : tuan, bahasa melayu) dan imbuhan per-an pembentuk kata benda atau lebih tepatnya menjadi yang dipertuan/ bisa jadi tuan minimal bagi dirinya sendiri. Tentunya tidak semua daerah begitu (asas kelaki-laki atau kebapakan). Tetapi itupun, masih tetap dapat sekali, dikatakan adaptasi budaya kuat pengaruhnya dalam penyebab adanya bias gender.

Terlepas dari itu semua, kita kembali ke bahasan awal tentang urgensi dari pro kontra ini. Bagaimana kita bisa melihat bersama sudah berapa penelitian, seminar, workshop belum termasuk tenaga, waktu atau jam tanyang televisi membahas isu ini. Kita tinjau lagi tentang pentingnya atau malah tidak penting adanya pro kontra dalam isu perjuangan persamaan gender.

Untuk melihat dua pihak yang berseberangan ini bayangkan seolah kita naik ke sebuah meja penglihatan yang lebih tinggi untuk melihat pemikiran pro dan kontra dari tempat yang lebih tinggi. Nampaklah disitu dua kutub yang berbeda beserta tetek bengek-nya.

Membahas perdebatan isu kesentaran gender cukup panjang memang. Pihak pro isu gender berangkat dari kenyataan di segala aspek kehidupan, jenis-jenis pekerjaan telah/sudah dikuasai laki-laki Berbicara isu gender tidak terlepas dari berbicara tentang ketertindasan peran dan bagaimanna seharusnya perempuan. Perempuan dirasa hanya sebagai objek bukan subjek dalam kehidupan. Peran perempuan hendak diangkat, penggeseran salah satu pihak hanya objek menjadi sama-sama subjek. Inilah alasan utama karena ketika membicarakan kesetaraan gender hal yang tersinggung adalah posisi perempuan itu sendiri.

Kita pelajari ulang secara pelan terminologi “telah/sudah dikuasai laki-laki”. Kalau dikatakan “telah/sudah“, berarti mempunyai gambaran bahwa di masa lampau pernah ada penguasaan permpuan terhadap laki-laki. Perempuan pada jaman dahulu mempunyai dan menempati kedudukan yang laki-laki pegang sekarang. Kepemimpinan sebagai sebuah penghargaan manusiawi dipegang perempuan. Atau malah terbalik, terminolgi tersebut mengandung maksud bahwa memang “telah/sudah” dari awal kehidupan memang laki-laki lah yang memgang peran utama sampai kapan pun. Atau malah terjadi kesalahan terminologi “telah / sudah “ yang penulis pakai. Untuk poin ini, penulis mengakui masih kebingungan tentang ihwal adanya anggapan kaum hawa tertindas. Atau pihak pro mengalami kebingungan pula seperti yang penulis alami sampai paragraf ini.

Jikalau di paragraf sebelumnya, penulis nyatakan kebingungan atas perjuangan para feminis (aktivis kesetaraan gender), maka penulis hendak mengungkapkan hal yang serupa. Pihak kontra mengatakan para aktivis gender melakuakan kesalahan yang besar. Hal ini yang lucu dan membingungkan. Para aktivis kesetaraan gender itu berangkat dari sebuah perjuangan untuk menyamakan gender yang sebenarnya sudah sederajat dari awalnya. Yang penulis maksud, pihak kontra menyalahkan pihak pro atas perjuangannya. Bukankah, tanpa dibela/ disanjung yang namanya pria perempuan sudah sederajat karena mempunyai peran mulianya masing-masing. Atau dengan kata lain tidak perlu sebuah seminar betajuk, “Pria Perempuan Bersinergi Membangun Bangsa”, misalnya. Karena hal ini sudah terjadi dan fakta.

Powered By Blogger

Mengenai Saya

Foto saya
bengkulu, Indonesia, Indonesia
Assalamu'alaikum to all sebelum dari semuanya...tak kenal maka tak sayang. perkenalkan saya punya nick "471 5". apa arti sebuah nama,mawar dengan nama apapun tetap wangi ( shakespiere).